Tanihoki.com: Pernah dengar soal vertical farming? Ah,
tentunya sobat Tanihoki sudah mulai familiar ya dengan istilah vertical farming
atau pertanian dengan konsep bertingkat ke atas. Khususnya bagi pegiat
hidroponik.
Walaupun memang pertanian vertikal ini belum
terlalu dikenal di Indonesia karena lahan pertanian masih cukup melimpah di
Tanah Air.
Namun, perlu dicatat, bisnis pertanian dengan
model vertical farming ini diprediksi kian menjanjikan lho ke depan. Maklum
saja, urbanisasi dan masalah lingkungan membuat daya dukung pertanian
konvensional kian berkurang.
Vertical farming bisa jadi penyelamat
persediaan makanan dunia di masa depan. Khususnya di wilayah perkotaan yang tak
punya lahan pertanian.
Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA)
memperkirakan pada 2050 hampir 80% populasi dunia akan tinggal di daerah
perkotaan.
Di sisi lain, jumlah manusia di Bumi bakal
naik 3 miliar orang. Tetunya, pertumbuhan populasi ini bakal meningkatkan
kebutuhan akan pangan.
Dikutip dari Latimes.com, USDA memproyeksikan
bahwa pada 2050 masyarakat Bumi butuh makanan 70% lebih banyak.
Apabila hanya mengandalkan pertanian seperti
saat ini, maka bakal terjadi ketimpangan antara permintaan pangan dan
produksinya. Di situla vertical farming bakal ambil peran.
Ya, pertanian vertikal sendiri boleh dibilang
sangat berbeda dengan pertanian yang sudah kita kenal selama ini.
Pertanian vertikal ini dibangun dalam ruangan
tertutup dan tersusun rapi secara bertingkat ke atas. Nah, pada setiap
tingkatan ada sinar cahaya dari lampu yang berfungsi seperti matahari.
Cahaya ini sudah diatur secara otomatis
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman akan sinar. Pemberian air pun diatur
otomatis, termasuk alat untuk memantau kesehatan tanaman dan pemberian nutrisi.
Alhasil, pada sistem pertanian vertikal ini teknologi
berperan penting dan tingkat ketergantungan pada alam mengecil.
Menurut Lucasgroup.com.au, keuntungan lain
adalah pertanian vertikal membutuhkan air dalam jumlah sedikit, sekitar 5% dari
air yang dibutuhkan pertanian biasa.
Selain itu, pertanian vertikal tidak
membutuhkan pengendalian hama dengan menggunakan bahan kimia, tumbuhan tumbuh
dua kali lebih cepat, dan bisa ditanam sepanjang tahun tanpa memandang musim.
Boleh dibilang, pertanian vertikal bisa lebih
produktif dibandingkan dengan pertanian biasa.
Sebagai gambaran, dalam area yang sama besar,
pertanian vertikal bisa menghasilkan 75 kali lebih banyak.
Makanya, kini perusahaan yang fokus pada
pertanian vertikal terus bertambah dari tahun ke tahun.
Jepang
Negara yang punya fokus tinggi pada vertical farming adalah Jepang. Alasannya, populasi yang kian menua yang membuat pasokan tenaga kerja kian menyempit, dan urbanisasi.
Saat ini rata-rata usia petani Jepang adalah 67 tahun dan hanya sedikit anak muda yang siap menggantikan peran tersebut.
Menurut Japantoday.com, salah satu perusahaan yang berhasil dalam mengembangkan pertanian vertikal ini adalah Spread.
Perusahaan tersebut sukses menghasilkan 11 juta selada setiap tahunnya di pabriknya yang berada di Kyoto.
Perusahaan menanam selada dengan pengaturan cahaya, suhu, dan kelembapan ideal sehingga menghasilkan produksi yang stabil sepanjang tahun.
Selain Jepang, pertanian vertikal juga mulai dikembangkan di Timur Tengah. Badia Farms, pertanian vertikal komersial pertama di Timur Tengah akan mendirikan pertanian skala besar terbaru di Dubai Industrial City.
Dubai juga dicanangkan memiliki pertanian vertikal terbesar, dibangun di area seluas 130 ribu kaki persegi, yang akan dibangun oleh perusahaan teknologi agrikultura Crop One Holdings dan Emirates Flight Catering.
Untuk membangun perkebunan tersebut, mereka akan mengeluarkan biaya 40 juta dollar AS atau setara Rp 576 miliar.
Posting Komentar